Islam datang bukan untuk mengubah budaya kita menjadi budaya Arab
Bukuan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’,  ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’…
Kita pertahankan milik kita. Kita harus serap ajarannya, bukan budayanya

~ Gus Dur


Malam itu masjid kuno Bayan Beliq tampak ramai. Masjid berukuran 10x10meter yang terbuat dari kayu dan bambu itu dipadati oleh 44 kyai adat Wetu Telu yang sedang membaca AlQuran kuno tulisan tangan leluhur mereka. 44 orang kyai adat Wetu Telu itu, terdiri dari empat orang kyai kagungan (ulama besar) dan 40 orang kyai santri. Empat orang kyai kagungan itu meliputi kyai penghulu yang bertindak sebagai imam dalam shalat, kyai ketib yang bertindak sebagai khotib, kyai lebei yang bertindak sebagai bilal pengumandang adzan, dan kyai modim yang bertindak sebagai merbot dan bertanggung jawab terhadap kebersihan masjid. Para warga lalu  bergantian masuk sesuai kelompok desa mereka untuk menyerahkan zakat fitrah. Zakat fitrah tersebut bukan hanya berupa beras atau uang, tetapi juga hasil bumi dan ternak. Pembacaan AlQuran dan penyerahan zakat fitrah ini dilakukan hingga dini hari.


Esoknya, mereka melaksanakan Idul Fitri adat. Sama seperti lebaran umumnya, mereka melakukan sholat Idul Fitri juga, namun pelakunya hanya 44 kyai adat saja. Ritual ini diistilahkan dengan Ngiring Sareat Lebaran Tinggi  atau upacara adat yang mengiringi dan memperkuat perayaan Idul Fitri, lebaran agama.  Tujuannya, harmonisasi adat dan agama.


Di Bayan perayaan lebaran adat ini sudah dilakukan masyarakat adat penganut Wetu Telu sejak berabad-abad lampau. Diyakini, jika tradisi turun-temurun ini tidak dilaksanakan akan menjadi pemaliq, menimbulkan petaka bagi warga. Lebaran adat ini juga disebut dengan ngiring rebak jungkat yang dalam Bahasa Sasak berarti merebahkan tombak. Jungkat atau benda tajam sering dimaknai sebagai kebencian. Jadi pada saat itulah kebencian dalam diri direbahkan dan laku memaafkan ditegakkan.


Perayaan syukuran lebaran adat dilakukan di Kampu,  sebuah lokasi  yang dibatasi  pagar bambu, di dusun masing-masing. Kaum pria menyembelih sapi, kambing, atau ayam, dan menyiapkan ancak atau anyaman bambu berlapis daun pisang sebagai tatakan hidangan. Para wanita menanak nasi, memasak sayur, dan membuat jajanan dengan beras yang  wajib dicuci di mata air desa.  Setelah jadi, masyarakat menikmatinya di Berugak Agung Bale Beleq dan di Kampu dengan cara begibung, makan bersama-sama. Setiap ancak dimakan bersama-sama oleh empat hingga enam orang. Malamnya, para kyai berdoa di areal makam di sekitar masjid Bayan Beleq. Mereka khusyuk dalam doa hingga lewat tengah malam.


Tradisi lebaran adat dipertahankan sekuat mereka mempertahankan  tradisi adat Wetu Telu yang lain  semisal Maulid Adat, Idul Adha Adat, juga khitanan dan perkawinan adat. Semua itu merupakan bentuk penghormatan mereka bagi leluhur. Kekukuhan mereka menggenggam adat menyebabkan alam setempat tetap lestari. Hutan adat Mandala dan Bangket Bayan, misalnya,  tetap utuh hingga kini. Sebab menurut adat,  tidak ada warga yang boleh sebarangan menebang pohon. Denda moral dan denda adat akan menimpa mereka yang berani melanggar. Dendanya, seekor kerbau untuk setiap pohon yang ditebang. Maka hutan seluas lebih dari 25 Hektare itu pun tetap lestari.


Islam hadir di Pulau Lombok sekitar abad 17,  dibawa oleh Wali Songo.  Jejaknya adalah  masjid kuno Bayan Beleq. Datu  (Raja) Bayan adalah orang yang pertama diislamkan di Lombok. Menyusul kemudian para pemangku adat dan masyarakat adat setempat. Namun, meski telah mengucap syahadat, masyarakat Bayan tetap menganut adat Wetu Telu, sebuah pandangan hidup yang telah mereka anut secara turun-temurun. “Wetu” berarti batasan wilayah, sedangkan “telu” berarti tiga.  Intinya, dari sisi kehidupan, masyarakat diwajibkan menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup antar makhluk yang diciptakan Allah melalui tiga jalan: memanak (beranak), menteluk (bertelur) dan mentiu (bertumbuh). Manusia dan hewan mamalia dilahirkan dari proses beranak-pinak, unggas dan hewan melata hadir dari telur, sedangkan pepohonan menyuat dari biji yang bertumbuh. Ketiganya harus selaras dan seimbang sehingga tak seorang pun boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan.


Dari sisi tatanan sosial, masyarakat adat menghormati tiga unsur kepemimpinan: pengusungan (Pemerintah), pemangku (Pemuka Adat), dan penghulu (Pemuka Agama). Ketiganya memiliki tanggungjawab sosial yang berbeda namun saling bergandengan. Sementara dari posisi geografis, masyarakat adat Wetu Telu membagi tiga wilayah yang harus dijaga kelestariannya:  wilayah Gunung dan Hutan untuk penduduk di perkampungan yang dekat dengan kaki gunung Rinjani, wilayah pertanian untuk perkampungan di dataran tengah, dan wilayah laut untuk perkampungan yang dekat pesisir.


Gedarip, tokoh adat Bayan,  mengatakan bahwa setiap Lebaran Idul Fitri masyarakat adat Bayan juga melaksanakan shalat Ied di masjid umum untuk merayakan lebaran Agama Islam. Namun karena adat  harus dilestarikan, mereka pun merayakan Lebaran Adat. Gedadip menolak pencampuradukan  agama dengan adat. Menurutnya, agama dan adat  berada di jalur berbeda namun dapat berjalan bersisian.  Selama ini, penilaian keliru tentang Wetu Telu membuat stigma penggabungan adat dan agama, merugikan komunitas ini.  Menurut Gedadip, bukan lantaran tak paham ajaran Islam mereka menjalani ini, melainkan kepercayaan terhadap hal-hal eksoterislah pendorongnya. Di saat agama dirasa kaku karena batasan  halal dan haramnya membuat orang menjadi takut, adatlah solusinya...




***


Foto-foto di atas dipamerkan dalam Pameran Foto Project 88 - Denpasar Film Festival bertajuk "Ritual" di Danes Art Veranda, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, 19-25 Agustus 2014.


BIODATA SYAFIUDIN

Lahir di Malang, Jawa Timur Indonesia pada 2 Juni 1983. Ia adalah fotografer freelance yang sekarang berbasis di Denpasar, Bali. Menekuni fotografi dokumenter sosial-budaya dan fotografi kontemporer sebagai gaya pribadi. Tapi secara umum, ia juga bersedia membuat foto-foto wisata, human interest, potret, dan stock photo.

Vifick  aktif dalam berbagai event fotografi. Telah puluhan event dan kejuaran fotografi ia ikuti dan menangi. Di tempat domisilinya di Bali, ia mendirikan “Komunitas Semut Ireng” yang antara lain bertekun pada produksi dokumenter foto dengan kamera lubang jarum.
Wirasathya Darmaja


Pantai Pandawa dulunya terkenal akan hasil panen rumput lautnya, sebagian besar warga sekitar bekerja menjadi petani rumput laut sebagai mata pencaharian sehari – hari, termasuk Bapak Yasa. Perlahan petani rumput laut mulai berkurang, berdasarkan cerita dari Pak Yasa dan beberapa petani, bibit rumput laut sudah tidak sebaik dulu. Rumput laut yang dipanen sering kali mati dan layu, tidak jarang para Petani harus merugi saat musim panen tiba dikarenakan gagal panen.


Dua tahun belakangan ini Pantai Pendawa mulai ramai dikunjungi oleh wisatawan domestic maupun Intenational, daya tarik Pantainya yang bersih dan pasirnya yang putih menjadi keunggulan Pantai Pandawa.


Perlahan – lahan lapangan pekerjaan baru mulai muncul, Pak Yasa yang dulunya bekerja sebagai Petani Bulung kini memanfaatkan sector pariwisata sebagai pengganti mata pencahariannya menjadi Penjual Jasa Kano. Lahan pantai yang dulunya Ia gunakan untuk menanam rumput laut kini berubah menjadi arena bermain Kano bagi wisatawan yang berkunjung ke Pantai Pandawa.


Pak Yasa memiliki satu buah Kano yang Ia sewakan ke pengunjung seharga Rp 50.000 per jam maximum untuk tiga orang. Hampir semua yang dulunya bekerja sebagai Petani Rumput laut kini beralih profesi menjadi Penjual Jasa Kano. Berdasarkan informasi dari Pengelola Pantai Pandawa ada tiga kelompok yang beranggotakan 19 orang per-kelompok yang kini aktif menjual Jasa Kano.


Pak Yasa Lebih memilih bekerja sebagai Penjual Jasa Kano dibandingkan menjadi Petani Bulung. Hasil yang Ia dapatkan dari menjual Jasa Kano lebih cepat dirasakan ketimbang saat menjadi Petani Bulung.


Saat masih bekerja sebagai Petani Rumput Laut Ia hanya bisa menikmati hasil kerjanya kurang lebih 2 – 3 bulan saat musim panen tiba dengan jumlah hasil panen bisa mencapai 400 – 500 kg yang mana rumput laut kering dihargai Rp 13.000 per kg. Kini dengan beralih profesi menjadi Penjual Jasa Kano Pak Yasa memiliki pemasukan harian. Rata – rata Pak Yasa bisa menghasilkan RP 160.000 per-hari saat musim sepi dan bisa melonjak hingga Rp 400.000 per hari saat musim liburan.


Semenjak Pak Yasa bekerja menjadi Pejual Jasa Kano, kini perlahan – lahan perekonomiannya berubah, rumah yang Ia tempati bersama istri dan anak bungsunya sudah bisa ia perbaikin, malah kini Pak Yasa memiliki dua gedung rumah yang terletak bersebelahan, satunya digunakan sebagai kamarnya dan kamar anaknya dan satunya lagi sebagai dapur dan ruangan untuk menyimpan banten.


Selain itu kini Pak Yasa sudah bisa membelikan motor baru untuk anak bungsunya dari hasil menjual Jasa Kano, dengan bangga Pak Yasa menunjukan tiga buah motor hasil kerja kerasnya dari menjual Jasa Kano.



***

Foto-foto di atas dipamerkan dalam Pameran Foto Project 88 - Denpasar Film Festival bertajuk "Air dan Kehidupan" di Galeri Lingkara, jl. Merdeka 4 no. 2, Denpasar, 18-23 Agustus 2015.


BIODATA WIRASATHYA DARMAJA
Bekerja di bidang perhotelan yang kini tertarik dalam dunia fotografi jurnalistik untuk menyampaikan pesan. Ketertarikannya muncul ketika memakai kamera adiknya untuk memotret aktifitas keseharian orang yang bekerja di sekitaran Denpasar.

Saat ini tergabung dalam komunitas 1000 Guru Bali sebagai fotografer. Komunitas ini dijalankan oleh anak muda yang memberi pendidikan dan pengobatan gratis di daerah pedalaman Bali.
IG: @wirasathya

JP Christo

"Kebesaran suatu bangsa dan perkembangan moralnya dapat dilihat melalui perlakuan mereka terhadap satwa" ~Mahatma Gandhi


Pradaban manusia sering kali mengabaikan ciptaanTuhan yang sama-sama hidup di bumi ini.Walaupun dunianya berbeda, laut dan darat, mereka dahulu hidup berdampingan dengan manusia, mereka sering menolong para pelaut yang kehilangan arah bahkan yang hampir tenggelam.

Majunya pikiran manusia tidak dibandingi dengan beradabnya prilaku manusia terhadap makhluk lain.


Sebagaimamalia air lumba-lumbamerupakan yang paling cerdas.Merekahidup di lautluas, samudra yang dalam, berjalandengan sonar, berenangdalamkeluarga, danbertingkahlincahsambilmengejarikansegar.


Namun akal mereka tidak cukup daya untuk melawan manusia.Dijaring dari laut lalu ditempatkan di kolam air tawar berklorin yang sempit.Dipaksa berprilaku dengan hadiah ikan mati, demi keuntungan manusia.


Tidak berlebihan apabila sirkus lumba-lumba adalah bentuk perbudakan satwa liar demi meraup uang semata.Edukasi yang salah kaprah.


Hewan liar sudah seharusnya hidup di alamnya, tanpa gangguan manusia.Sudah sepantasnya manusialah yang berkunjung ke alam mereka, jika ingin bertemu.



Lumba-lumba ada sebelum manusia ada.Menghormati dan menjaga saudara tuanya hidup di samudra adalah sikap yang beradab, agar generasi masa depan bisa melihat dan mengenal mereka di dunia yang tidak terbalik.



.

***

Foto-foto di atas dipamerkan dalam Pameran Foto Project 88 - Denpasar Film Festival bertajuk "Air dalam Simbol" di Rumah Sanur Jalan Danau Poso 51A Denpasar 13-21 Agustus 2015.


BIODATA JOHANNES P. CHRISTO
Fotografer lepas kelahiran Jakarta, 1987, ini  menetap di Bali sejak 2005. Sering mengerjakan penugasan editorial, komersial, dan sesekali mengarap foto dokumenter. Selalu tertarik pada isu-isu sosial yang berikatan dengan satwa dan lingkungan.

Sehari-hari, Christo bekerja sebagai pewarta foto lepas untuk koran dan majalah Tempo di Bali.


Jeje Prima Wardani


.
Hari besar telah datang untuk  Ngusaba Demel, prosesi selama sembilan hari berturut-turut mengusung Dewi Danu beranjangsana. Dewi Danu adalah penguasa Danau Batur yang kami yakini sebagai dewi pelindung dan pemberi kemakmuran.



.
Dua tahun sekali, setiap Sasih Karo (bulan kedua pada penanggalan Bali),  Sang Dewi berkenan macecingak , meninjau subak, mata air, dan desa-desa di sekitar Gunung Batur  untuk menaburkan rahmat. Karenanya kami selalu merindukan prosesi ini.



.
Perayaan semakin meriah dengan berjejernya truk besar dan ratusan motor dari para umat yang antusias mengiringi Sang Dewi. Di antara mereka ada para pemangku yang bergiliran mendentangkan genta, tembang pujian, dan penabuh yang susul menyusul memainkan gamelan. Di setiap subak atau desa, pratima (patung perwujudan) Dewi Danu dihaturi hasil bumi sebagai persembahan oleh masyarakat setempat.


.
Adalah sebuah tempat di kaki Gunung Batur bernama Toya Mampeh yang berarti air mengalir deras, sebagai pusat dari perjalanan Ngusabe Demel. Pemangku mengambil tetesan air Toya Mampeh di bibir tebing yang dulunya air terjun. Air ini digunakan untuk membasuh pratima Dewi Danu.



.
Di situ juga masyarakat membuat gunungan dari hasil bumi sebagai persembahan bagi  Dewi Danu sebelum beliau kembali ke payogaan (istana). persembahan itu diinjak, kemudian Jero Gede Duwuran simbolik dari Dewi Danu membagikan kepada anggota subak, kemudian dibawa pulang dan menjadikannya bibit tanaman. Hal ini dipercaya bisa membawa berkah dan kesuburan untuk tanah.


.
Sang Dewi harus pulang, tidak ada rasa sedih dari para pengiringNya. Melainkan rasa bangga karena berhasil menyelenggarakan upacara yang meriah, begitu juga persembahan hasil bumi yang melimpah meski air sebagai simbol Sang Dewi semakin menipis.

Kita terlalu sibuk menggunakan tapi lupa memelihara air sebagai sumber kehidupan.



.
Mewarisi tradisi air adalah sebuah tanggung jawab, tidak semata-mata dalam upacara yang semarak tapi juga dapat memahami esensinya. Seperti menjaga elemen buana agung (dunia tempat kita tinggal) dan buana alit (diri kita sendiri).



.


***

Foto-foto di atas dipamerkan dalam Pameran Foto Project 88 - Denpasar Film Festival bertajuk "Air dalam Simbol" di Rumah Sanur Jalan Danau Poso 51A Denpasar 13-21 Agustus 2015.

 BIODATA JEJE PRIMAWARDANI

Akrab dengan panggilan Jeje. Lahir dan tumbuh di tengah budaya Bali menjadikan dia dekat dengan fotografi budaya yang ditekuni sejak 2009. Selain sebagai fotografer dia juga kerap mengerjakan video. Pekerjaan lain yang menjadi kegemarannya adalah bertani Kopi Kintamani.
Premium Blogspot Templates
Copyright © 2012 project 88